Siapa tidak risau melihat kenyataan yang terjadi di
Dalil 1.
Tuhan itu tidak beragama, jadi Ia berlaku adil bagi semua manusia. Agama adalah sekedar sarana untuk mengenalkan Tuhan, namun Tuhan sendiri tidak beragama.
Dalil 2.
Agama mempunyai keterbatasan yang cukup mencolok seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci Al- Quran dan Injil. Misal dalam Al-Quran ditandaskan bahwa apabila semua ajaran Allah SWT dituliskan, maka tinta sebanyak samudera rayapun tidak akan mencukupi. Demikian pula dengan Injil yang menandaskan apabila semua ajaran Isa Almasih dituliskan maka buku setebal gunungpun tidak akan bisa memuat. Ke "Mahabesaran Tuhan" tidak mungkin cukup diwadahi dalam buku setebal kitab suci. Ke "Mahabesaran Tuhan" juga tercermin pada luas dan dalamnya ilmu pengetahuan. Dengan terbatasnya kitab suci, ini berarti umat beragama diminta untuk lebih banyak belajar ilmu beserta kebenarannya diluar kitab suci masing2 agama (jadi isi masing2 kitab suci ternyata hanya sedikit sekali!). Dengan banyak belajar diluar kitabsuci, diharapkan IQ, EQ dan Iman terus berkembang sejajar, tidak timpang, dan tidak fanatik. Bila orang hanya dalam pada sisi "Iman" saja, maka ia mudah diperalat oleh para politisi.
Dalil 3.
Pencapaian puncak pemahaman agama adalah religiositas. Ibarat kuliah, ini adalah Philosophy Degree atau gelar Doktor. Setelah bergelar Doktor, maka ilmu lebih penting dari pada almamaternya. Kalau baru taraf kuliah, seorang mahasiswa masih suka memamerkan identitas2 universitasnya. Demikian pula dengan agama, Tuhan dengan sifat dasar Nya ("Maha Pengasih dan Penyayang") menjadi lebih penting dari pada agama itu sendiri, atau bahkan agama menjadi tidak perlu lagi. Jadi, kalau sudah mumpuni keagamaan seseorang, bukan agamanya yang penting, melainkan religiositasnya yang amat sangat penting. Ia tidak lagi tersekat-sekat oleh kotak sempit yang disebut agama. Religiositas setingkat lebih atas dari pada agama. Religiositas dapat diperoleh tanpa melalui agama. Salah satu definisi umum tentang religiositas adalah sbb.: sikap hatinurani, batin dan pikiran manusia yang selalu diarahkan kepada perbuatan baik, kasih sayang, kebenaran dan keadilan.
Dalil 4.
Agama adalah sesuatu yang abstrak dan sulit dicerna, oleh sebab itu sebaiknya tidak diberikan kepada anak-anak yang belum dewasa (disekolah dasar), apalagi dipaksakan sebagai pendidikan agama (ini pelanggaran HAM, agama adalah kebebasan untuk memilih); kalau sebagai pengajaran tentang berbagai agama, ini penting dan perlu diajarkan (misalnya keanekaragaman agama beserta ciri mereka masing2). Sebaiknya agama sebagai pendidikan (untuk menarik pengikut baru) diberikan kepada manusia dewasa, waktu kecil cukup diberikan budi pekerti. Kalau sejak kecil sudah dicuci otak dengan agama, maka hasilnya mirip
Dalil 5.
Agama bukan jaminan moralitas, kesejahteraan, kedamaian dan keadilan. Lihat saja, ada berbagai agama besar di
Dalil 6.
Agama Harus Menghormati Budaya Setempat. Semua agama besar di
Dalil 7.
Agama mudah diperalat. Oleh para elit politik maupun penipu biasa, agama sering diperalat. Kesetiaan dan ketaatan hampir seratus persen kepada Tuhan melalui agama disalah gunakan oleh 'manusia cerdas tapi jahat'. Antara Agama dan partai politik sudah sulit dibedakan. Antara filsafati yang suci bersih dan politik yang hitam kelam bercampur baur. Umat beragama bingung, apakah ia sedang mendengarkan sabda Tuhan atau orasi politik yang ulung dari seorang Dai (misalnya Dai sejuta umat), atau apakah ia sedang ada di mesjid atau sedang ada di kantor partai politik? Awas, jika para politisi di Jakarta ahli mempolitisir agama, apalagi para pakar politik Barat yang bagaimanapun kita harus akui kualitasnya lebih unggul daripada para politisi kita, mereka pasti juga ikut dan lebih pandai menggunakan jurus politisasi agama. Dengan politisasi agama, kasih sayang dimanipulasi menjadi kekerasan dan bahkan pembunuhan, dan bangsa ini akan terjebak dan dibuat sibuk mengurusi hal2 yang tidak penting (biarkan masyarakat beragama sendiri), sedangkan para politisi dari negara modern (pemerintah asing) bebas dan sibuk 'mencuri' kekayaan alam kita yang luar biasa kayanya. Lihatlah fakta kekerasan dan pembunuhan di negara2 yang agamis seperti:
Dalil 8.
Agama dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Lihatlah sejarah Eropa diabad 17 an. Agama Katholik saat itu sering menghukum ilmuwan, dengan alasan ilmuwan itu membuat pernyataan yang dianggap bertentangan dengan isi Injil. Ilmuwan besar yang dikucilkan antara lain adalah Copernicus dan
Dalil 9.
Semakin udara suatu bangsa penuh polusi doa puja-puji kepada Tuhan, semakin rusak moral bangsa itu. Kalau kita amati, seringkali tembok-tembok ditulisi: Ngebut, benjut; Yang Kencing disini hanyalah anjing; Daerah bebas narkotik; Dilarang buang sampah disini; dst... Dinegara maju yang masyarakatnya sudah mencapai religiositas, tulisan2 berisi ancaman dan aturan kasar semacam itu sudah tidak ada lagi, sebab aturan itu sudah tertulis dihati sanubari mereka semenjak dini/kecil, yaitu melalui pendidikan budi pekerti. Begitu pula dengan masalah agama, semakin bumi nusantara ini dipenuhi polusi suara yang keras dan hingar bingar tentang agama (Tabliq Aqbar, istigotsah, azan masjid, koor gereja, dsb.), semakin menandakan bahwa masyarakatnya masih sekedar pandai berdoa, sekedar bosa-basi agama, namun tidak pandai melaksanakan ajaran agama. Siang maling atau korupsi, malam meditasi atau berdoa. Ucapan dan tindakan sangat kontras berbeda. Lihatlah kelihaian para politisi Orde Baru dalam ber "agama", kemudian lihatlah "track record" mereka. Alhamdulilah, seratus delapan puluh derajat bedanya! Dapat kita katakan, apa yang terjadi di
Dalil 10
Agama dapat melunakan hukum negara melalui persepsi yang salah. Dalam agama Islam dikenal konsep pengampunan total terhadap dosa2 manusia oleh Tuhan dalam event2 tertentu, misalnya dibulan pengampunan "Ramadhan" atau saat2 naik Haji ke Mekah, demikian pula dalam agama Nasrani dikenal konsep pengampunan total terhadap dosa2 manusia oleh Tuhan asal percaya kepada Yesus Kristus. Dengan sifatNya yang "Maha Pengasih dan Penyayang" (perhatikan kata Maha), maka bagi Tuhan itu memang mungkin. Namun hal ini sering disalah gunakan oleh para koruptor, pelanggar HAM, elit politik dan birokrat. Agama bagi mereka menjadi sarang persembunyian yang enak dan nyaman (kasus islah), apalagi apabila sekian persen dari hasil kejahatan mereka, lalu mereka sumbangkan untuk membangun masjid, gereja dan rumah yatim piatu (model Robin Hood), dengan demikian walau bandit mereka tetap dihormati oleh umat setempat. Ulama, pastor dan pendeta harus menandaskan bahwa kejahatan manusia juga harus dipertanggung jawabkan didepan manusia (pengadilan), jadi tidak hanya vertikal melainkan horisontalpun penting! Ulama, pastor dan pendeta harus rajin ke DPR, Kejagung, presiden , dst., dalam hal membela kebenaran/moral, tanpa harus berpolitik praktis, mereka harus merasa malu dengan daya juang para mahasiswa/LSM dalam hal pembelaan moral dan kebenaran! Mereka, para agamawan, juga harus malu kepada seorang wanita ceking yang gigih membela manusia melarat dan tertindas, yang bernama Wardah Hafidz, yang tidak takut mengorbankan keamanan hidupnya! Mana ada ulama, pastur, pendeta atau biksu, yang turun tangan membela tukang becak, penjual asongan, dst., secara nyata? Mana ada dari mereka yang menuntut tuntasnya kasus BLBI, Trisakti, Priok, KKN, uang hibah haram, dst.?
Dalil 11.
Tuhan itu demokratis, sedangkan agama seringkali otoriter. Tuhan tidak melarang manusia untuk tidak beragama, karena Tuhan sendiri pada dasarnya tidak beragama. Tuhan mengharapkan agar manusia mencapai pemahaman tertinggi yang disebut religiositas melalui berbagai sarana seperti agama, "agama lokal" (misal Kejawen), dan ilmu pengetahuan. Keotoriteran agama nampak pada keinginan mau menangnya sendiri seperti melarang berbagai hal yang tidak sepaham dan ingin menjadi anak emas dinegara yang majemuk/pluralis!
Penutup
Agama itu penting, namun bukan segala-galanya. Belajar agama harus sampai mencapai tingkat tertinggi yaitu religiositas. Keterbatasan agama (iman/keyakinan) yang inherent harus diimbangi dengan perkembangan IQ dan EQ. Semua agama, berasal dari negara asing, maka kita wajib waspada dan bisa memilahkan antara ajaran agama dan budaya. Kita janganlah dibiasakan meniru adat istiadat, pakaian, budaya, apalagi cara pikir atau bahkan kekerasan yang mendompleng agama (melalui politik praktis). Manusia yang sudah mencapai derajat Religiositas yang tinggi, sudah tidak lagi mementingkan wadahnya yaitu agama, melainkan lebih mementingkan isi (intisari/makna) suatu ajaran agama, sehingga ia menjadi manusia bebas merdeka yang tidak tersekat-sekat lagi. Berbahagialah orang yang tidak beragama namun mempunyai religiositas yang tinggi, sebab ia akan bebas merdeka dimana saja, kapan saja, dilingkungan apa saja, dan Tuhan selalu menyertai dia! Tingkat pemahaman agama di
"Sebuah kenyataan bahwa sesungguhnya Bangsa
0 komentar:
Posting Komentar