BANGSA INDONESIA DALAM KETAKUTAN

on Senin, 30 Maret 2009

Tanda-tanda kemiskinan sebuah bangsa dalam tingkatan yang paling dasar adalah munculnya “rasa takut” disebagian besar penduduknya. Perasaaan takut yang sama atau ketakutan sejenis harus diterjemahkan secara luas serta mendalam sebab hal itu menandakan ketidak beresan dalam sistem pemerintahan yang berdampak kepada kehidupan masyarakatnya. Sebagai contoh dapat kita lihat pada fenomena sosial yang terjadi saat ini; masyarakat Indonesia takut tidak dapat makan, takut tidak mendapatkan bahan bakar, takut tidak mendapat pekerjaan, takut bepergian, takut sakit, takut hantu, takut tidak gaya serta seribu perasaan takut lainnya yang setiap hari mencekam kehidupan mereka. Dapat dibayangkan ketidaknyamanan hidup yang senantiasa menghantui rakyat Indonesia akibat ribuan teror rasa takut itu. Nuansa ketakutan tidak hanya berkaitan dengan kehidupan mereka, bahkan dalam konteks kematianpun setiap manusia Indonesia masih harus dibebani teror seperti, takut kemarahan tuhan, takut neraka, takut disiksa dan seterusnya. Pun bukan hanya itu, bahkan ketika proses beribadah (pengabdian) kepada tuhan-pun tidak terlepas dari teror; takut salah golongan, takut tidak diterima, takut salah waktu, takut salah ucapan, takut salah gerakan, takut salah tempat. Atas semua ketakutan tersebut, seolah tuhan memiliki kekurangan seperti halnya manusia (sungguh kasihan tuhan disamakan dengan manusia).

Seluruh bentuk ketakutan yang ada pada umumnya ditepis dengan cara pasrah diri kepada tuhan, mereka menggantungkan harapan terhadap belas kasih tuhan, keadilan tuhan, balasan dari tuhan kelak dan sebagainya. Kembali bangsa ini menunjukan ketidakmampuannya sebagai mahluk paripurna yang dijanjikan tuhan. Adanya rasa takut untuk menghadapai hari esok di negara yang teramat subur ini merupakan ironi paling kasar serta dagelan paling biadab (kalau tidak pantas disebut teramat sangat “bodoh”), bandingkan dengan negara lain seperti Arab yang 85% tanahnya berupa padang pasir, Rusia dengan udara dingin dan saljunya, Jepang dengan gempa buminya, mereka semua mampu menentramkan kehidupan bangsanya dengan menetralisir perasaan takut ditingkat paling mendasar (sandang, pangan, perumahan dan pendidikan).

Dampak dari ketakutan yang menteror setiap saat adalah munculnya perasaan tertekan, apatis dan paranoid hingga menuju dua titik puncak antara; kelelahan atau nekad. “Kelelahan” akan membawa bangsa Indonesia kepada ambruknya kepedulian terhadap tata kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. “Kenekadan” akibat tekanan yang datang bertubi-tubi dari berbagai sisi kehidupan akan membawa bangsa ini menuju pemberontakan terhadap nilai-nilai kearifan lokal hingga kelak memicu lahirnya generasi berkualitas barbar dan biadab. Inilah bentuk dan wujud kemiskinan bangsa yang sesungguhnya yaitu; ketika mereka tidak mempunyai, tidak mengenal, dan tidak memahami lagi jati dirinya. Di negeri ini, jangankan mengenali para leluhur bahkan dirinya sendiri tidak mereka kenali. Proses “pemiskinan nasional” pada prinsipnya sudah terjadi sejak lama (+/- abad ke 13M) yaitu, sejak nilai-nilai kearifan lokal yang dibangun oleh para leluhur bangsa dibabat habis oleh ajaran bangsa pendatang, diawali dengan ‘pelarangan’ penggunaan huruf dan bahasa persatuan negara (bukan bahasa Indonesia seperti yang kita kenal sekarang).

Serangan tersebut berhasil gemilang dan tumbuh subur di Bumi Pertiwi hingga saat ini, penyusupan demi penyusupan dilakukan dan kini mereka banyak memiliki kaum cerdik pandai yang siap adu argumen, mempunyai wadah pembinaan usia dini dan dewasa, bahkan tidak kepalang tanggung kini mereka memiliki laskar sukarelawan berani mati demi mempertahankan ajaran leluhur bangsa lain itu, jumlahnya tak perlu diragukan lagi bukan ribuan tetapi jutaan. Akibat kondisi dan situasi tersebut di atas maka Manusia Indonesia Putra Ibu Pertiwi, Sang Pewaris Negeri yang sesungguhnya terpaksa harus hidup dalam perenungan dan pengasingan, menyisihkan diri dari kehidupan sebab sudah terkepung oleh kaum hama pengerat yang siap adu nyawa. Para Pewaris Negeri dengan bijak mengundurkan diri dari persoalan kebangsaan dan kenegaraan bukan karena “takut” tetapi mereka tidak menginginkan terjadinya perpecahan dan pertumpahan darah di Ibu Pertiwi Tanah Suci Bangsa Indonesia.

Saat ini mungkin cukup tepat jika bangsa Indonesia diberi gelar bangsa “tikus”, selain sebagai kaum hama (koruptor) perusak tanaman, pencuri di dapur orang, perusak buku dan pakaian pemilik rumah, bermain di selokan (comberan) halaman rumah, sehingga faham yang paling tepat bagi bangsa ini adalah “Tikus mati di lumbung padi”. Semua situasi dan kondisi tersebut tentu saja diakibatkan oleh sistem “pembodohan nasional” yang berakibat kepada “pemiskinan nasional” hingga pada gilirannya bangsa kita harus menghadapi “ketakutan nasional”. Ketakutan adalah tanda kemiskinan, seberapa banyak rasa takut yang kita miliki maka sebesar itu pula luas kemiskinan yang kita punya. Ketakutan adalah teror dan itu merupakan perwujudan atas pengekangan atau hilangnya kemerdekaan dan kedaulatan setiap manusia Indonesia. Maka dapat disimpulkan bahwa negara kita tercinta ini masih dalam PENJAJAHAN !

0 komentar: